
Beda Nasib Kopi dengan Sawit, Alat Diplomasi yang Luput dari Perhatian
KOPI dan sawit merupakan komoditas perkebunan yang menjadi salah satu penyumbang ekspor nonmigas terbesar Indonesia. Sebagai komoditas hasil perkebunan, kopi membutuhkan perhatian untuk menghadapi tantangan ekspor dari Uni Eropa dan keharusan memenuhi standar-standar pasar global.
Kopi masuk daftar lima besar komoditas ekspor perkebunan utama Indonesia berdasarkan nilai ekspor (2021). Kontribusi utama tentu dari kelapa sawit dengan kontribusi sebesar 74,48%, wajar saja Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia, yang membuat iri benua biru.
Tempat kedua, karet dengan nilai kontribusi 10,15%. Berikutnya komoditas kelapa 4,06%, kakao sebesar 2,97%, kopi dengan nilai kontribusi 2,10% dan komoditas perkebunan lainnya berkontribusi sebesar 6,23%. Menurut data BPS, selama sembilan bulan 2024 ekspor kopi mecapai 342,44 ribu ton atau senilai US$1,49 miliar atau setara Rp23,21 triliun.
Namun sayang sungguh disayang, kopi yang juga komoditas ekspor utama seperti halnya sawit, bahkan dijadikan alat diplomasi, belum mendapatkan perhatian serius. Padahal sebagai komoditas ekspor, kopi juga menghadapi hambatan ekspor dari Eropa, menghadapi standar-standar pasar global.
Tantangan klasik masih menjadi pekerjaan rumah. Perkebunan kopi yang sebagian besar dimiliki petani masih menerapkan budidaya serba tradisional, tidak ada kelembagaan petani apalagi korporatisasi. Masih jauh dari adaptasi praktik berkelanjutan (sustainability and compliance). Padahal, sebagai komoditas ekspor, adaptasi dan kepatuhan terhadap standar pasar global menjadi syarat perdagangan.
Bahkan jika dilihat lebih ke dalam, seperti di Sumatera Selatan, provinsi penghasil kopi terbesar di Indonesia. Mengutip BPS dan Portal Satu Data Pertanian milik Kementerian Pertanian, areal kopi di Bumi Sriwijaya terluas di Indonesia yaitu 267.187 hektare atau 21,11 persen dari total luas areal kopi secara nasional. Dengan luas tanaman kopi tersebut, Sumsel menyumbang 26% dari total produksi kopi nasional 794,8 ribu ton.
Namun dengan data itu, kopi Sumsel tak cukup mendapatkan perhatian bahkan nyaris dilupakan selama beberapa dekade. Tak heran, ekosistem industri kopi di Sumsel “mati suri”. Secara alamiah berpindah ke Lampung yang memiliki ekosistem kopi makin matang dan menikmati geliat kopi, termasuk aliran biji kopi Sumsel.
Kini, harga dan produksi kopi yang membaik membuka mata pemerintah daerah. Salah satu langkah terbaru, melakukan seremoni pelepasan ekspor perdana dari Pelabuhan Boom Baru Palembang pada Minggu (19/01). Sebanyak 10 kontainer kopi dikirim ke Malaysia dan 4 kontainer ke Australia. Puluhan ton kopi robusta dan arabika itu dari tanah Semendo, Muara Enim dan Pagaralam.
Oleh karena itu, upaya pemerintah harus mencakup semua proses bisnis kopi. Tidak cukup mendorong ekspor, harus membangun ekosistim hulu ke hilir (value chain) yang mendorong peningkatan kualitas, produkvitas dan nilai serta ‘brand’ kopi Sumsel. “Kopi Sumsel yang mensejahterakan, membanggakan dan berkelanjutan.” Semoga.

