LAMBERT Grijns, Duta Besar Belanda Penjaga Sawit Indonesia
Orang Belanda asli. Dia menyebut Bogor sebagai kota kelahirannya. Fasih berbahasa Indonesia. Walau lahir di Indonesia, bahasa Belanda tetap sebagai bahasa ibunya. Kini dia menjabat sebagai Duta Besar Pemerintahan Kerajaan Belanda di Indonesia. Dia melakukan kunjungan ke Medan.
Saya diundang dan hadir dalam pertemuan multi pihak di Hotel JW Mariott. Bentuk acara adalah lunch meeting alias percakapan sambal makan siang. Jadi berlangsung santai dan cair selama lebih dari dua jam. Dari percakapan itu saya berkesimpulan bahwa bila mungkin dia cocok dan layak diberi kesempatan jadi “Duta Besar Belanda Penjaga Sawit Indonesia di Eropa”.
Mungkin ide ini berlebihan dan sulit diwujudkan. “Tak ada ide bodoh. Hanya belum ketemu momen saja” demikian ungkapan para bos untuk memancing ide anak buah. Dari gestur selama percakapan, saya melihat dia gelisah dan ingin melakukan sesuatu. Oleh karena itu, ide ini layak dicoba bila kita mau. Ini adalah momen yang pas. Karena tidak mudah menemukan orang seperti dia. Dia memiliki pemahaman sawit nan komplit (dan pro). Dipastikan dia juga paham dinamika dan politik sawit Belanda (Uni Eropa).
Makin istimewa dan cocok lagi karena dia memiliki rasa ke-indonesia-an yang kental. Dia mengerti persawitan Indonesia dengan dan dari sumber ber bahasa Indonesia. Secara teknis, dia mengakui dan menyebutkan, sawit sumber minyak nabati paling efisien dan produktif. Menolak dan mengganti sawit dengan minyak nabati lain akan melipatgandakan kebutuhan lahan. Artinya harus membuka lahan baru yang lebih luas dengan ancaman deforestasi (baru) yang ditolak Uni Eropa. Posisi, cara pandang dan wawasan yang utuh sang Dubes ini sangat dibutuhkan dalam melakukan diplomasi sawit.
Dalam percakapan, kami menggunakan bahasa Indonesia. Sesekali campur bahasa Inggris. Saya pun memanggil dia Pak Lambert. Dia memandang sawit secara rasional dengan basis saintifik. Tak heran dia prihatin dan menyayangkan apa yang terjadi di Uni Eropa. Pasar dan konsumen bergerak ke arah anti dan menolak sawit dengan ragam alasan. Disebutkan semakin banyak dan mudah menemukan produk consumer goods dengan label atau stiker no palm oil dan palm oil free.
Pak Lambert mengakui, masyarakat Belanda turut menikmati gurih kue ekonomi industri sawit. Pelabuhan Rotterdam salah satu pintu masuk perdagangan produk minyak sawit. Minyak sawit diimpor langsung dari berbagai pelabuhan utama Indonesia untuk kemudian disalurkan ke pasar Uni Eropa. Tak heran, Rotterdam jadi salah satu referensi harga utama produk minyak sawit global dan ragam industri hilir pun tumbuh di sana. Dengan realitas ini, adalah konyol bila Belanda ikut menarikan musik anti minyak sawit. Menjaga sawit adalah pilihan yang waras.
Dia juga menjelaskan dinamika pasar lainnya. Menurut dia, pasar dan konsumen tidak sepenuhnya anti minyak sawit walau cenderung meluas. Mereka bisa menerima asal ada sertifikat minyak sawit berkelanjutan. Terbukti trend positif impor produk sawit. Belanda mengimpor lebih dari 90% minyak sawit bersertifikat berkelanjutan. Dan mayoritas bersumber dari Indonesia.
Belanda mencoba berdamai dengan pasar dan konsumen yang ngotot. Namun dia berharap Indonesia mau lebih aktif dan adaptif untuk mengedukasi pasar dan konsumen Eropa. Bukan menyalahkaan atau menolak kebijakan (politik hukum) pemerintahan Uni Eropa. Karena Uni Eropa membuat kebijakan sebagai respon politik hukum atas aspirasi pasar dan konsumen. Masuk akal juga. Walau kita tau pasar tidak selalu independen dan kebal dari intervensi.
Sikap Pak Lambert secara pribadi yang pro sawit (berkelanjutan) juga sejalan dengan kebijakan Pemerintahan Kerajaan Belanda. Sejak 2015, Belanda mendukung inisiatif dan program keberlanjutan sawit di Indonesia. Mereka menyediakan dana dan dukungan yang disalurkan melalui lembaga buruh dunia ILO (International Labour Organisation) dan serikat buruh Belanda CNV. Kedua lembaga ini kemudian menjadi mitra GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia). Kolaborasi ini melakukan ragam inisiatif dan aksi nyata khususnya dalam aspek ketenagakerjaan.
Dengan dana itu, ILO kemudian membuat proyek khusus bernama Advancing Workers’ Right in Palm Oil Sector. Digarap secara tripartit: Pemerintah (Kemenaker), GAPKI (pemberi kerja) dan JAPBUSI (Jejaring Pekerja dan Buruh Sawit Indonesia). Hal yang sama, Serikat Buruh Belanda CNV juga aktif mempromosikan dialog sosial dalam hubungan buruh dan pengusaha. Sejauh ini tercatat ada kemajuan yang mengembirakan. Industri sawit dipandang semakin terbuka dan aktif mengupayakan perbaikan. Salah produk akhir berupa buku yang saya serahkan kepada Pak Lambert di akhir pertemuan (seperti foto di atas).
Melalui dialog yang sehat dan produktif akan lebih mudah mewujudkan praktek baik ketenagakerjaan. Dengan demikian dapat mewujudkan sawit Indonesia berkelanjutan yang utuh mencakup 3P people (manusia pekerja dan masyarakat), planet (lingkungan) dan profit (bisnis).
Pak Lambert dan Pemerintahan Kerajaan Belanda bisa dan berpotensi jadi “Duta Sawit Indonesia di Eropa”. Mereka bisa jadi corong dan mitra melakukan aksi yang terstruktur, sistematis, masif dan berkelanjutan. Apakah kita mau dan mampu menggaet mereka? Siapa pula yang harus memimpin dan meng-orkestrasi gagasan ini?
Ada banyak lembaga dan fihak yang harus terlibat dan dilibatkan. Tapi tak ada yang punya otoritas yang cukup. Jadi diperlukan orkestrator dengan leadership (kepemimpinan) disertai otoritas memadai. Mungkin sudah waktunya membentuk insitusi selevel kementerian? Kementerian Kelapa Sawit misalnya? “Tak mungkin kita bisa menjawab permasalahan baru dengan rumus lama” demikian kata Oppung Doli di Lapo yang baru saja minum tuak satu gelas.