Opini

Sawit dan Indonesia Emas 2045

Sawit serta komoditas perkebunan lain yang ada di perdesaan adalah salah satu kunci untuk mencapai Indonesia Emas 2045.

DALAM Bincang Kompas pada 17 Januari 2024, tim sukses dari tiga pasangan calon presiden-calon wakil presiden bicara sawit di depan media dan praktisi sawit (hulu hilir). Saat itu, mereka mengeluarkan segala jurus plus nada bersemangat. Dengan harapan bahwa capres – cawapres merekalah yang punya resep paling jitu untuk mengurus sawit.

Dalam paparan, semua timses sepakat peran dan posisi penting sawit. Selebihnya adalah paparan rangkuman masalah yang mereka pahami. Kemudian, menjelaskan masalah itu kepada praktisi yang menggeluti masalah tersebut setiap hari. Sementara yang diharapkan adalah solusi dan strategi konkret, teknis, holistik, serta terobosan berani dari para timses.

Bisa dibayangkan apa yang ada di benak para praktisi tersebut. Acara Bincang Kompas: ”Urun Rembuk Bersama Stakeholder Sawit Nasional” secara hibrida di Jakarta, Minggu (17/1/2024). Penulis hadir dengan ekspektasi tinggi. Berharap ada gebrakan solusi atas tumpukan masalah sawit yang mengancam nasib sawit.

Sayang acara nyaris datar dan waktu melebihi yang direncanakan. Tidak heran penulis mendapat pesan WA dari penonton Youtube, ”Kok, acaranya tidak menarik, ya, Pak, he-he. Diskusinya juga datar, ha-ha, saya aja baru nonton langsung bosan, Pak, apalagi Bapak di sana.” Yang mengirim pesan adalah generasi muda pekerja sawit dan akrab dengan masalahnya. Substansi pesan ini tentu harus disimak para timses apabila ingin memanen suara generasi muda sawit.

Dapat disimpulkan bahwa nyaris tidak ada perbedaan dari paparan semua timses. Termasuk dari timses capres-cawapres yang mengusung ”perubahan”. Patut dicatat, walau sudah jadi gagasan lama, ketiga timses dengan istilah yang berbeda, mereka sepakat mengusulkan lembaga khusus untuk menangani sawit. Ada yang menggunakan istilah badan sawit, lembaga setingkat kementerian, dan ada juga usul reformasi Badan Pengelola Dana Kelapa Sawit (BPDKS).

Namun, tidak cukup penjelasan tentang peran dan otoritas dari lembaga tersebut yang diusulkan untuk menyelesaikan persoalan sawit yang terus menumpuk. Selama ini, sawit diurus oleh banyak lembaga, tetapi semua bersifat parsial dan nyaris tidak ada yang punya otoritas tampil sebagai dirigen atau pemimpin.

Acara Bincang Kompas Urun Rembuk Bersama Stakeholder Sawit Indonesia, di Jakarta, Rabu (17/1/2024). Bincang ini menjadi ajang tukar pikiran dan gagasan antara tim pemenangan calon presiden dan wakil presiden dengan masyarakat sawit Indonesia.

Penulis terlibat di sawit hampir 35 tahun. Puluhan tahun bergelut dengan masalah petani dan buruh. Penulis tidak melihat paparan untuk dua hal ini. Tidak ada tawaran solusi implementatif (mikro) dan menjanjikan dari timses.

Penguatan koperasi petani masih tetap ditawarkan sebagai salah satu solusi pemberdayaan petani. Ini adalah tawaran yang berulang di setiap kampanye. Faktanya, mayoritas koperasi jalan di tempat, terjerat ragam masalah, bahkan tidak mudah mencari koperasi perdesaan (sawit) yang bisa jadi model. Jadi, koperasi seperti apa yang dimaksud?

Hal yang sama dalam aspek buruh atau pekerja. Memang ada judul agak spesifik ”perlindungan pekerja” dari salah satu timses. Namun, nyaris tidak ada pembahasan aspek perburuhan dalam perspektif decent work (kerja layak), sustainability (keberlanjutan), rural development (pembangunan perdesaan secara keseluruhan), dan tren global lainnya.

Sebagai komoditas global (lebih 65 persen sawit diekspor), sustainability adalah darah dan nyawa sawit menuju pasar global. Prinsip, indikator, dan makna sustainability yang lebih lengkap ada dalam 17 Goals SDGs (sustainable development goals). Ke-17 tujuan pembangunan berkelanjutan tersebut menjadi agenda dunia dan sekaligus pintu gerbang menuju Indonesia Emas 2045.

Sawit bisa berperan sebagai komoditas sulung dan menjadi teladan komoditas adiknya. Banyak komoditas lain tidak seberuntung sawit.

Sawit punya peran dan kontribusi nyata dalam hampir di semua tujuan SDGs tersebut. Mengatasi kemiskinan, kelaparan, penyediaan lapangan kerja, kesetaraan jender, tanpa pekerja anak, pangan, energi terbarukan, dan seterusnya. Pada saat yang bersamaan, sejumlah defisit decent work masih menjadi pekerjaan rumah dan kerap jadi isu yang merugikan sawit.

Indonesia Emas 2045

Dibutuhkan kacamata yang beda untuk melihat sawit. Karena tidak ada kesempatan bicara saat acara bincang tersebut, penulis mencoba sampaikan melalui tulisan ini dengan tema provokatif: No Sawit, No Indonesia Emas 2045. Melihat sawit and beyond diperlukan dalam mengurus dan membuat kebijakan yang multidimensi.

Supaya sawit tidak egois dan menjadi solusi holistik, penulis mengusulkan pembentukan ”Kementerian Perkebunan” dengan otoritas, organisasi, dan kepemimpinan memadai. Mengurus khusus perkebunan, tetapi tidak hanya sawit sebagaimana usulan para timses. Karena ada ragam komoditas perkebunan lain yang sedang menanti penyelamatan.

Sawit bisa berperan sebagai komoditas sulung dan menjadi teladan komoditas adiknya. Banyak komoditas lain tidak seberuntung sawit. Karet yang mayoritas (84 persen) dimiliki petani sudah meradang 10-15 tahun terakhir. Petani karet mengeluh harga rendah, produksi turun, penyakit gugur daun, tata niaga buruk, pupuk mahal dan langka. Nyaris tidak ada solusi nyata. Pabrik pun kekurangan bahan baku.

”Sebanyak 5.000 anggota saya sudah PHK (diberhentikan) akibat lima pabrik karet di Sungai Musi tutup dan tiga pabrik melakukan efisiensi karena tidak ada bahan baku,” ungkap Abdullah Anang, Ketua Serikat Buruh Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Sumsel, menjawab pertanyaan penulis.

Jawaban senada dari kolega saya, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jambi, ”Ada dua pabrik tutup karena kekurangan bahan baku.”

Nasib kakao juga tidak beda jauh. ”Produksi merosot drastis. Hanya mampu memenuhi setengah dari kapasitas pabrik yang ada,” ujar praktisi industri kakao, Ainu Rofiq.

Penulis sengaja mengumpulkan fakta perkebunan terkini sebelum hadir di acara bincang Kompas. Dengan harapan bahan elaborasi dan sumbangsih kepada para timses. Sedihnya, paparan para timses tidak ada yang melihat perkebunan secara lebih luas (di luar sawit). Sangat wajar, debat cawapres juga tidak menyentuh sawit dan perkebunan.

Dengan argumentasi apa pun, perkebunan (sawit) sudah waktunya diurus dengan visi, misi, dan strategi melalui sebuah lembaga kementerian dengan otoritas cukup. Dari sisi manusia, yang terlibat sudah setara dengan sebuah negara. Orang sawit saja sudah hampir 50 juta (16 juta pekerja dan satu istri anak). Setara dengan Korea Selatan. Belum termasuk petani karet, kakao, dan lainnya.

Sumbangan devisa ekspor sawit terbesar 39 miliar dollar AS (2022). Sebagai pembanding sederhana: sektor pariwisata disebut melibatkan 13 juta pekerja dan ”hanya” pernah menyumbang devisa 16 miliar dollar AS (sebelum pandemi Covid-19). Namun, pariwisata sudah diurus seorang menteri sejak lama. Jadi, kenapa timses masih ragu dan terkesan tak pede (percaya diri)?

Pada saat yang bersamaan, organisasi dan perusahaan perkebunan sawit bisa menjadi ”teman kolaboratif” pemerintah dalam mempromosikan decent work dan tujuan SDGs di perdesaan. Secara organisasi, jaringan perusahaan sawit mungkin setara dengan organisasi TNI (Tentara Nasional Indonesia). Menjangkau pelosok desa. Sawit ada di ribuan desa sawit di 160 kabupaten.

Perdesaan yang digadang-gadang sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru tentu harus berkualitas. Perdesaan juga menjadi pusat sistem pangan (food security system). Pembangunan perdesaan juga harus memenuhi keberlanjutan sesuai indikator SDGs. Mampu menahan urbanisasi. Perdesaan yang layak anak, ramah perempuan, pekerjaan yang menyejahterakan dan berkelanjutan. Ada perlindungan sosial dan aman dari risiko (K3).

Korporasi sawit memiliki praktik baik dari semua indikator dan tujuan SDGs. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia sudah melakukan dua inisiatif penting berupa panduan dan kompilasi praktik baik ”Sawit Ramah Perempuan dan Anak”. Ini siap untuk dibagikan, dipromosikan, dan diimplementasikan.

Inisiatif dan aksi yang lebih luas tentu membutuhkan otoritas pemerintah melalui regulasi, kolaborasi. Terlebih lagi dalam era otonomi, inisiatif dan kreativitas pemerintah daerah menjadi sangat penting. Terlebih porsi pekerja informal di sawit cukup besar. Tidak kurang dari 42 persen sawit nasional dimiliki petani yang serba informal. Di sinilah peran usulan lembaga kementerian yang dimaksud sebagai regulator, inisiator, dan kolaborator.

Indonesia Emas 2045 adalah impian kita bersama. Tidak boleh ada yang tertinggal, leave no one behind sebagaimana tema SGDs. Dibutuhkan pemimpin yang membawa kita ke sana. Sawit serta komoditas perkebunan lain yang ada di perdesaan adalah salah satu kuncinya. Jadi, tidak berlebihan, no palm oil (perkebunan), no Indonesia Emas 2045. Semoga tim capres membaca. Horas.

 

 

Penulis:

Sumarjono Saragih: Chairman Founder Worker Initiatives for Sustainable Palm Oil (WISPO), Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumatera Selatan

 

Artikel yang sama juga tayang di Kompas