
Sejarah Sawit di Indonesia, Buah Tangan Bangsa Eropa hingga Serap 16 Juta Pekerja
SAWIT di Indonesia memiliki sejarah panjang, jauh sebelum para pemuda mengikrarkan hasil Kongres Pemuda berupa janji untuk bersatu dalam tumpah darah, bangsa, dan bahasa Indonesia pada 28 Oktober 1928. Kelapa sawit yang awalnya hanya untuk koleksi tanaman di Kebun Raya Bogor, terus menyebar dan menjadi industri besar, berkontribusi besar bagi negeri ini.
Bagi pendapatan negara, industri sawit menyumbang pendapatan devisa negara hingga Rp470 triliun (2023) bahkan jika menggunakan data 2022 devisa dari sawit Rp600 triliun, hampir dua kali lipat dibandingkan hasil efisiensi APBN 2025. Sektor tenaga kerja, kontribusi sawit tidak kaleng-kaleng, sebanyak 16,2 juta tenaga kerja diserap industri ini.
Begitu pun untuk pemerataan pertumbuhan ekonomi baru, kontribusi sawit patut diperhitungkan. Kebun dan atau pabrik sawit yang tersebar di 30-an provinsi, 168 kabupaten dan di puluhan ribu desa, telah menciptakan tempat pertumbuhan ekonomi baru di pedesaan atau wilayah sekitarnya.
Namun perlu juga diketahui, asal mula tanaman sawit. Apakah tanaman asli Indonesia? Kapan pertama kali ditanam dan bagaimana sejarah awal sawit ditanam secara komersil. Berikut data dan ulasan tentang sejarah sawit di Indonesia :
Awal Mula Sawit di Indonesia
Kelapa sawit (Elaeis guineensis) bukanlah tanaman asing bagi kehidupan manusia. Berdasarkan terbitan “De Oliepalm”, masuknya kelapa sawit ke Indonesia terjadi pada tahun 1848, dan selanjutnya ditanam di Kebun Raya Bogor. Empat bibit kelapa sawit oleh Dr. D. T. Pryce untuk ditanam di Kebun Raya Bogor sebagai koleksi tumbuhan. Keturunan empat bibit asal Kebun Raya Bogor tersebut ditanam sebagai tanaman hias sekaligus menjadi uji lokasi di perkebunan tembakau di Deli, Sumatera Utara, Pulau Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, dan Maluku.
Sejarah Awal Perkebunan Sawit Indonesia
Pada tahun 1878, Deli Maatschappij mencoba membudidayakan kelapa sawit di Deli, Sumatera Utara, yang menjadi langkah awal menuju perkebunan komersial. Perusahaan Belgia dan Jerman memulai usaha perkebunan kelapa sawit komersial pada tahun 1911 di Pulau Raja (Asahan), Sungai Riput (Aceh), dan Tanah Itam Ulu (Sumatera Utara).
Keberhasilan tersebut membuat Perusahaan Belgia memulai usaha perkebunan kelapa sawit komersial perdananya pada tahun 1911 yang mulai beroperasi di Pulau Raja (Asahan) dan Sungai Riput (Aceh). Pada tahun yang sama, perusahaan asal Jerman tersebut juga memulai usaha perkebunan kelapa sawit di Tanah Itam Ulu (Sumatera Utara). Banyak investor asing yang mulai mengikuti jejak yang sama untuk mengusahakan perkebunan kelapa sawit sehingga jumlahnya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Oleh karena itu pada tahun 1918 dibangun Pabrik Kelapa Sawit (PKS) pertama di Indonesia yakni di Sungai Liput dan di Tanah Itam Ulu pada tahun 1922.
Industri Hilir Sawit Pertama di Indonesia
Kelapa sawit tidak hanya dimanfaatkan dari sektor hulu saja, tapi pemanfaatannya juga berkembang hingga ke hilir. Pada tahun 1976, guna memperluas pemanfaatan dan nilai tambah minyak sawit dalam negeri, pemerintah Indonesia membangun industri hilir pertamanya yaitu PAMINA yang berlokasi di Adlina, Sumatera Utara.
BUMN Pertama di Indonesia
Sejak masa kolonial hingga masa Orde Lama, perkembangan perkebunan kelapa sawit banyak dipengaruhi oleh dinamika politik Indonesia. Proses peralihan kekuasaan dari pemerintah kolonial kepada pemerintah Republik Indonesia juga mencakup nasionalisasi perkebunan milik perusahaan swasta kolonial dan asing yang kemudian menjadi cikal bakal Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Proyek NIS atau PIR
Pada tahun 1977, pemerintah Indonesia bekerja sama dengan World Bank, Asian Development Bank (ADB), Germany Government Donor Agency (KfW) dan International Fund for Agricultural Development (IFAD) untuk mendirikan proyek NES (Nucleus Estate and Smallholders) atau PIR (Perkebunan Inti Rakyat).
PIR merupakan model perkebunan kelapa sawit yang lahir dari sinergi antara petani dan perusahaan. Keberhasilan uji coba PIR (I-IV) dikembangkan lebih lanjut dalam berbagai model/pola di perkebunan kelapa sawit di Indonesia (Badrun, 2010; Sipayung, 2011; Kasryno, 2015; PASPI, 2022). Berikut adalah berbagai pola PIR yang dikembangkan di Indonesia.
Pertama, pola “PIR Khusus” dan “PIR Lokal” yang diperkenalkan pada tahun 1980. Program ini merupakan kelanjutan dari proyek PIR yang mendapat pendanaan dari World Bank. PIR khusus dan pola PIR lokal dikaitkan dengan program pembangunan ekonomi lokal/regional.
Kedua, Pola PIR Transmigrasi (PIR-Trans) telah dikembangkan sejak tahun 1986 sehubungan dengan program migrasi. PIR-Trans mengembangkan pola kerja sama dengan perusahaan perkebunan milik negara dan swasta sebagai inti dengan masyarakat transmigran sebagai plasmanya.
Ketiga, Pola PIR Koperasi Primer Para Anggota (PIR-KPPA) yang diluncurkan pada tahun 1996. Pola ini dirancang untuk mengintegrasikan pengembangan perkebunan kelapa sawit dan koperasi. Perusahaan perkebunan kelapa sawit milik negara dan swasta berperan sebagai inti, dan petani kelapa sawit yang tergabung dalam koperasi berperan sebagai plasma.
Keempat adalah pola kemitraan yang dikembangkan sejak tahun 1999. Dengan pola ini, perusahaan perkebunan kelapa sawit milik pemerintah dan swasta harus mengalokasikan minimal 20 persen dari total luas perkebunannya untuk pengembangan kebun masyarakat. Model ini dapat berupa pengelolaan perkebunan satu siklus dalam satu manajemen oleh perusahaan perkebunan, atau dapat juga dalam bentuk BOT (Build, Operation, and Transfer) yang kemudian dikonversikan kepada petani.
Kelima, Kebijakan Kemitraan Revitalisasi Perkebunan (Revit-Bun) yang dikembangkan sejak tahun 2006. Melalui kebijakan ini, pemerintah memberikan fasilitas kredit (subsidi bunga kredit) terkait pengembangan energi nabati dan revitalisasi perkebunan.
Keenam, Kemitraan dan Kewajiban Korporasi untuk Membangun Kebun Masyarakat sejak tahun 2007-sekarang. Program tersebut tertuang dalam Permentan 26/2007 dan UU 39/2014 tentang Perkebunan. Dalam perkembangannya, program ini juga menjadi salah satu pembahasan dalam UU Cipta Kerja yang kemudian ditindakalanjuti pada PP 26/2021 dan Permentan 18/2021.
Industri Sawit Indonesia Mengalahkan Malaysia
Penguatan kebijakan pemerintah pusat dan daerah (desentralisasi) dengan menerapkan berbagai model PIR dan kemitraan, serta mendukung pengelolaan perizinan berdampak pada percepatan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Pertumbuhan perkebunan sawit Indonesia yang revolusioner bahkan disebut menandingi green revolution. Indonesia bahkan berhasil setelah menggeser posisi Malaysia dengan menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia tahun 2006. Dan hingga saat ini, posisi tersebut masih dipegang oleh Indonesia yang memiliki luas kebun sawit mencapai 14.98 juta hektar tahun 2022 (Ditjenbun Kementan, 2022).
Partisipasi Rakyat di Industri Sawit
Selain mengantarkan Indonesia menduduki posisi sebagai “Raja Minyak Sawit Dunia”, hal yang menarik untuk dibahas adalah partisipasi rakyat (petani) dalam usaha budidaya perkebunan sawit Indonesia. Pada awal pengembangan perkebunan sawit di Indonesia, para ekonom besar global menyangsikan rakyat (petani) ikut serta dalam usaha budidaya sawit karena membutuhkan modal investasi yang sangat besar. Namun berkat adopsi berbagai model PIR dan program pemerintah lainnya telah berhasil mengikutsertakan rakyat (petani) dalam usaha budidaya perkebunan sawit Indonesia.
Keberhasilan petani sawit plasma (yang mengadopsi model PIR/Kemitraan dengan korporasi) juga mampu menjadi insentif bagi masyarakat lain untuk berpartisipasi menjadi petani sawit. Secara mandiri, petani sawit swadaya menggunakan kemampuannya dan sumberdaya (modal) sendiri untuk membangun kebun sawitnya. Implikasinya perkebunan sawit rakyat semakin meluas dengan peningkatan pangsa yang siginifikan yakni dari hanya sekitar 2 persen menjadi 40 persen.
Sumber: GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) dan palmoilina.asia

